Dear Fara
sekaligus merupakan hal yang paling membuatku sedih"
Tak ada lima menit berlalu akhirnya laki-laki itu menampakkan dirinya ke hadapanku. Dia yang baru kukenal selama beberapa hari namun entah mengapa semenjak pertemuan pertama aku menyadari bahwa laki-laki inilah yang akan menjadi jodohku kelak
“Hai Far…, sudah lama menunggu?” kata lelaki itu dengan santai
“Yuk kita berangkat” ujarnya kemudian
Kamipun mulai berjalan kaki menuju Stadion Manahan, tempat ini sebenarnya merupakan tempat berolahraga, namun demikian sisi-sisi tempat tersebut terdapat pepohonan rindang dan taman-taman yang cocok untuk sijoli seperti kami.
“Jadi bagaimana?” ujar lelaki tersebut seraya kami berjalan-jalan di taman
“Maksudnya gimana?” kataku dengan nada bingung
“Kok malah tanya balik? Kan Fara yang kemarin bilang kalau kita nggak bisa bertemu seperti ini terus. Om sudah punya istri loh? Masak Fara mau selingkuh dengan lelaki paruh baya seperti Om. Sebenernya dari pada Mas, lebih cocok Fara manggilnya, Om”
“Nggak, pokoknya Fara mau manggilnya Mas” ujarku seraya cemberut
Pikiranku sejenak melayang, saat itu aku hendak pulang sekolah. Aku ingat saat itu diriku sedang menangis di tepian jalan. Seperti biasa, teman-teman di sekolahku kembali merundungku. Jelek, babi, anjing semua kata sumpah serapah tersebut selalu tertuju kepadaku sejak aku bisa mengingat. Aku kuat, dan aku yakin hal seperti ini adalah hal yang biasa aku alami.
Namun demikian entah mengapa saat itu hatiku terasa hancur. Setiap ejekan mereka terasa 100 kali lebih sakit dari biasanya. Aku pun memutuskan untuk kabur dari panti asuhan tersebut. Aku tak tau kemana tapi aku hanya akan berlari, aku pun terus berlari hingga aku menabraknya. Lelaki paruh baya yang membawa payung berwarna merah.
“Jadi Mas, ujarku…”
“Om” kata lelaki itu seraya menepuk jidatnya
“Jadi kapan Mas mau menikahiku, kataku seraya menatap matanya dengan lembut”
“Om kan udah bilang kalau Om udah menikah” katanya lagi seraya menepuk jidat sekali lagi
“Fara nggak papa kok jadi simpenan yang penting Fara bisa sama Om” ujarku seraya mencoba memeluk lelaki tersebut
Dengan sigap lelaki itu menyentakkan kedua tangannya ke bahuku
“Far…., kamu dengerin Om tidak sih” ujarnya seraya menatapku sebal
“He…he….” akupun berkelit dari lengannya dan memeluknya semakin erat
“Fara sayang sama Om”
Kali ini kulihat dia tak menolak pelukanku, namun demikian tiba-tiba kurasakan tetesan air menetes di kepalaku. Aku pun mendongak ke atas dan sekilas kulihat tetesan air mata terlihat dari sela-sela kacamatanya. Laki-laki itu selalu mengenakan kacamata yang tebal. Dan entah karena udara dingin atau embun yang ada aku tak pernah bisa melihat apa yang ada di balik kacamata itu. Aku pernah mendengar bahwa mata adalah jendela hati, jika memang hal itu benar adanya berarti diriku tak pernah melihat hati laki-laki ini sama-sekali.
“Jadi kita mau kemana mas habis ini?” Ujarku sembari melingkarkan tanganku ke lengannya dan menyandarkan kepalaku ke pundak laki-laki tersebut.
“Fara mau kemana?” katanya dengan suara yang dingin
“Yuk, ke hotel aja.” ujarku dengan nada bercanda
“Yuk.” ujarnya
Sejenak langkahku terhenti, hal itupun membuat langkah laki-laki tersebut ikut terhenti. Dengan refleks kutatap mata laki-laki itu, dan laki-laki tersebut balik menatapku. Aku masih merasa sedikit bingung karena candaanku ia sambut dengan cepat lagi tanpa keragu-raguan. Sejenak kupejamkan mataku dan memantapkan hatiku.
“Yuk” ujarku seraya membuka mata lagi tersenyum manja
Usai perbincangan itu kami pun meninggalkan taman tersebut, kemudian dengan langkah yang sendu berjalan kaki menuju salah satu hotel kumuh yang ada di kotaku. Namun demikian, ada satu hal yang terasa aneh. Senyuman laki-laki tersebut menghilang, sikapnya yang lemah lembut kepadaku berubah 180 derajat.
Ia lepaskan lilitan tanganku dan ia tarik pergelangan tanganku dengan kasar. Sepanjang jalan di saat langkahku tertinggal ia sentakkan tanganku dengan kasar. Telapak tanganku ia remas dengan keras hingga meninggalkan bercak merah dan rasa nyeri. Sekitar 30 menit kita berjalan akhirnya kami sampai di hotel tersebut. Tanganku terasa semakin sakit akibat genggaman laki-laki tersebut yang terasa semakin erat.
Kami pun menaiki lift hingga ke tangga lantai 4. Laki-laki itu kemudian membuka pintu kamar nomor 404. Ia buka pintunya, dan tanpa jeda ia sentakkan tanganku ke dalam ruangan hingga aku tersungkur ke lantai. Kemudian ia tutup pintunya, ia kunci dan tanpa meninggalkan sepatah katapun kulihat langkahnya semakin terdengar samar..
Akupun mulai merangkak menuju pojokan, kutengok sejenak ke luar jendela sembari merenungi segala pilihan hidupku. Sejak aku bisa mengingat selalu saja rasa sakit yang menghampiri hidupku. Cacian, hinaan, tamparan, pukulan hal-hal seperti itu terasa begitu lekat dengan kehidupanku sehari-hari. Bahkan ketika aku ingin keluar dari penderitaan ini dan merasa menemukan cinta sejati. Pada akhirnya hidupku kembali ke titik yang sama.
Aku tak masalah menyerahkan apapun demi cinta sejatiku, namun demikian aku rasa bohong jika aku tidak sedih dan kecewa. Kuingat kembali tatapan dinginnya, cengkeramannya yang kasar dan caranya menyentakkan tanganku. Aku tak tau lagi apa yang akan dilakukan oleh laki-laki yang baru saja kucintai ini. Aku pun menunggu dalam ketakutan hingga tak terasa diriku pun tertidur di pojokan.
Samar-samar kurasakan elusan lembut menyentuh kepalaku, kurasakan rasa nyaman yang telah lama kurindukan, akupun membuka mataku dan kulihat wajah lelaki itu tersenyum ke arahku. Kusadari bahwa saat ini aku berbaring dengan menjadikan paha lelaki itu sebagai bantalannya. Akupun kaget dan berusaha duduk, namun lelaki itu menahan badanku dengan lembut sembari tersenyum. Namun demikian aku masih tidak dapat melihat mata lelaki itu, yang dapat kurasakan adalah senyumannya yang terasa lembut.
Aku pun berhenti menolak dan menikmati belaian tangannya di kepalaku. Beberapa menit kemudian ia hentikan belaiannya, aku pun menatapnya dengan tatapan kecewa
“Kenapa berhenti?” ujarku dengan nada setengah kecewa
ia pun mendorong bahuku ke atas sembari menginstruksikan diriku untuk duduk
“Fara mau lanjut?” ujarnya seraya tersenyum
“Tentu saja, kan aku cinta sama mas?” ujarku seraya tersenyum semanis mungkin dan mendekatkan mukaku ke laki-laki itu
Kemudian dengan tiba-tiba lelaki itu memeluk tubuhku. Ia memelukku dengan erat namun dengan penuh kasih sayang, dia pun mulai berbisik di sampingku, sudah Fara lepaskan saja
“Maksudmu apa mas?” tanyaku sembari kebingungan
“Fara nggak perlu menahan diri, Om tau betapa sedihnya kehidupan Fara. Om pengen dengar kisah Fara” ujarnya seraya melepaskan pelukannya dan menatap wajahku
“Enggak Mas, kehidupan Fara bahagi…”
Belum sempat diriku menyelesaikan kata-kataku laki-laki itu memeluk tubuhku dengan erat. Dan seperti terhipnotis akupun menangis terisak sejadi-jadinya. Menurutku berbohong itu adalah hal yang wajar, aku tidak takut dosa dan aku sering sekali berbohong. Namun demikian, ia menyenggolku ketika aku hendak mengatakan kebohongan yang paling aku benci.
Aku bahagia? Aku tak pernah bahagia, bagiku hidup ini sebuah penderitaan. Aku sering bertanya pada Tuhan jika aku memang diciptakan untuk menderita mengapa aku harus dilahirkan. Dan tanpa kusadari aku bercerita panjang lebar terkait hidupku selama ini.
……
“Lebih baik aku mati saja” ujarku sambil menangis sesenggukan sembari memeluk lututku. Kata-kataku ini seolah merupakan klimaks dari cerita panjangku tadi
“Jadi bagaimana Fara?” kata lelaki itu dengan tenang
“Maksud Mas?” ujarku seraya menatapnya dengan tatapan kebingungan
“Sekarang Om mau tanya, Fara nggak usah mikirin untung rugi, nggak usah mikirin mas mau apa. Fara fokus pada diri sendiri, jika masih dalam genggaman mas, mas akan bantu Fara untuk mewujudkan itu” ujar laki-laki itu seraya melepas kacamatanya
Seketika itu pula aku tertegun melihat matanya, bola matanya yang berwarna biru muda dan cahaya yang memantul di tepiannya. Embun-embun tipis yang merembes lewat celah-celahnya. Perasaan tulus yang berasal dari hatinya terpancar jelas dari kedua bola matanya.
Di saat itu pula aku menyadari apa yang aku inginkan…..
***
Epilogue:
Hujan kala itu amatlah deras, seolah dunia ikut merasakan rasa rinduku terhadap laki-laki tersebut. Dia yang kini terbujur kaku di bawah tanah. Ia yang tak bisa lagi kusentuh maupun kurasakan. Namun demikian bola matanya yang biru menyala, serta tatapan tulusnya masih terbayang dengan jelas layaknya baru kemarin.
“Terima kasih atas pengorbananmu saat itu, Mas” ujarku dengan tatapan yang lurus
Kuteringat hari itu, ketika aku mengatakan keinginanku, dia hanya tersenyum. Kemudian kami bergegas keluar ruangan sambil ia keluarkan senjata api yang ada di balik mantelnya. Aku tak tau apa yang terjadi, namun aku tau bahwa ia melindungiku. Kejadian itu begitu cepat, pistol yang ia bawa ia perlakukan layaknya mainan. Padahal setiap tarikannya mematikan dan banyak diantaranya menghilangkan nyawa manusia di hotel tersebut. Walau tatapannya terasa menusuk, namun ketika dia menatapku yang bisa kurasakan adalah kehangatan dan ketulusan.
Dia membawaku berlari keluar dan mengantarkanku ke rumahnya, hingga beberapa hari aku menginap di sana bersama istri dan anaknya yang tidak kalah hangatnya. Sepanjang hidupku baru pertama kali aku merasakan apa yang dinamakan kebahagiaan.
“Kau tau Mas, walau pertemuanku denganmu singkat, namun hal itu lebih berharga dari seluruh hidup yang kurasakan selama ini”. “gumamku dalam hati
Setelah beberapa hari akupun dipertemukan oleh teman dari laki-laki tersebut yang siap membawaku untuk pergi meninggalkan kota ini. Sebelum aku menginjakkan kaki ke pesawat, aku ingat kata-kata terakhir lelaki itu.
“Dear Fara” ujarnya lembut
“Om tau kalau pertemuan kita singkat, namun percayalah mas menyayangi Fara layaknya anak sendiri. Om sudah berusaha sesuai batas kemampuan Om. Tenang saja Fara nggak meninggalkan luka apapun karena istri dan anak Om pun menyetujui apa yang Om lakukan, jadi Om harap Fara mendapatkan apa yang Fara inginkan di sana”
“Om harap Fara mendapatkan kebahagiaan” ujarnya sembari menepuk-nepuk bahuku lembut
Kenangan tersebut sudah dua tahun berlalu, namun masih terasa menusuk hingga saat ini.
Bagaimana mungkin hal yang paling membuatku bahagia sekaligus merupakan hal yang paling membuatku sedih.
Sejenak kukepalkan tanganku dan berbalik ke belakang
Dengan ketetapan hati aku bersumpah. Akan kubunuh orang yang berani melakukan ini pada mas dan keluarganya.
Fara yang lemah dan baik hati mulai hari ini telah mati…
Tidak ada komentar