"Saat Itu Aku Belum Menyadari Bahwa Apa Yang Akan Kulakukan Akan Menjadi Penyesalan Terbesar Dalam Hidupku"
H
ari ini adalah hari yang biasa, burung berkicau dengan gembira, matahari pun tak segan-segan menampakkan sinarnya. Setelah turun dari mobil pun aku tak merasakan tanda-tanda yang aneh. Seperti biasa pula aku berjalan dengan anggun ke arah gerbang sekolah.
"Wah, jadi dia yang namanya Karin." ujar salah satu bisikan.
"Luar biasa katanya dia kembali memenangkan lomba lari di Itali." ujar seseorang yang membuatku tersenyum.
"Bagaimana mungkin ada gadis sehebat dia, cantik, kaya, berprestasi lagi" komentar tersebut membuat senyumku semakin melebar.
Namaku adalah Karin, The One and Only. Ayahku adalah salah satu direktur di sebuah bank ternama, selain itu Tuhan memberkatiku dengan otak yang cerdas, sehingga sejak aku bisa mengingat aku selalu menjadi yang terbaik. Namun dibandingkan semua itu, ada satu hal yang paling aku banggakan. Aku adalah seorang pelari profesional. Semenjak aku mengenal olahraga lari 100 m aku langsung jatuh hati. Saat ini aku adalah salah satu pelari terbaik di dunia. Kalau soal lari, aku percaya diri. Tentu saja lari bukanlah satu-satunya keahlianku, memasak, pelajaran sekolah, berenang. Sebutkan saja, aku selalu jadi yang terbaik. Hanya saja lari adalah hal yang paling aku sukai.
Setidaknya itulah yang aku pikirkan dan percayai saat itu, hingga aku bertemu dengannya.
Aku ingat sekali sore itu, sepulang dari sekolah tiba-tiba seorang anak menghampiriku, aku tidak mengenal anak itu. Tidak ada hal yang mencolok darinya, namun demikian seluruh pakaian yang dia kenakan, mulai dari tas hingga sepatu terlihat kumal.
“Dia pasti bukan dari keluarga yang mampu.” Ujarku dalam hati.
“Selamat sore Kak Karin, namaku Aldho.” ujarnya.
“Aku ingin minta tolong sama Kak Karin kalau boleh” ujarnya sambil menunduk.
“Iya…..” ujarku.
Sejujurnya aku tak mengenal dia dan tidak peduli dengan dia. Terlebih aku paling benci dengan orang yang tiba-tiba datang tanpa dikenal dan meminta bantuanku. Aku tau bahwa aku kaya dan cantik, basically I am perfect, namun demikian bukan berarti aku akan membantu semua orang bukan?
“Jadi apa yang kau inginkan Do?”
“Sejujurnya saya sangat malu dengan Kak Karin, saya tau bahwa saya orang asing yang bahkan baru bertemu, namun demikian saya saat ini tidak punya pilihan lain, saya benar-benar harus meminta bantuan Kak Karin. Hanya Kak Karin yang bisa membantu saya.” Ujar Aldho dengan mata tertunduk.
“Jadi begini Kak, saat ini paman saya sedang sakit, dan dia sekarang ada di Bridge Hospital. Saat ini beliau sakit keras, lalu……” ujar Aldho sambil bercerita panjang lebar.
Sejenak pikiranku pun mulai mengembara…..
Lagi-lagi seperti ini, kenapa seseorang datang padaku hanya ketika butuh. Aku berani bertaruh bahwa jika pamannya tidak sakit, dia tak akan datang di hadapanku. Bukan berarti aku ingin dia ke sini dan menjadi temanku, namun sejak dulu selalu demikian. Hanya karena aku baik bukan berarti aku akan membantu semua orang kan, pada akhirnya tidak pernah ada orang yang benar-benar tulus untuk mau berteman denganku. Selalu ada sesuatu dibelakangnya.
“Kak….”
“Kak Karin…..” suara dari Aldho mulai membangunkan lamunanku.
“Iya Do bagaimana?”
“Seperti yang sudah saya ceritakan tadi Kak, jadi kalau Kak Karin berkenan saya ingin meminta bantuan Kak Karin.”
"Oh, seperti itu." ujarku sopan walau apa yang dia katakan sama sekali tak kudengar.
Namun demikian, aku bisa mengira-ira pasti dia menginkan uangku. Apa-apaan anak ini, kenal juga tidak tapi tiba-tiba datang dan meminta uangku. Mereka kira aku adalah dewi yang mau mengorbankan apa saja demi orang lain? Bullshit, kalau anak bernama Aldho ini ingin mendapatkan sesuatu dia harus memperjuangkannya.
"Do, sebenarnya aku ingin sekali membantumu. Namun demikian bukankah ini hal yang aneh, kita bahkan baru pertama bertemu namun kamu sudah meminta bantuanku. Bagaimana kalau kita bertaruh?"
"Maksud Kak Karin?"
"Kita akan lomba lari 100 m, jika kamu menang aku akan kabulkan permintaanmu. Cuma kalau kamu kalah, aku harap kamu menerima kalau aku tak bisa membantumu."
"Apa itu tak mengapa Kak? Maksudku aku kan cowok, sedang Kak Karin cewek. Saya rasa tidak mungkin saya kalah dari Kak Karin."
Apa-apaan anak ini, dia tidak tau bahwa aku adalah pelari professional. Selama karir professionalku aku tak pernah sekalipun mengecap kekalahan. Jangankan dengan cecunguk macam dia, dengan pelari professional pun aku menang.
"Karena kau sangat yakin, bagaimana jika kita naikkan taruhan kita. Kalau kau menang, aku akan menuruti apapun permintaanmu. Bukan hanya satu, tapi dua hal dan kau tidak perlu mengembalikan apapun yang kamu minta dariku. Tapi kalau kau kalah kau harus keluar dari sekolah ini." ujarku seraya tersenyum
Tentu saja aku tidak bersungguh-sungguh ingin dia keluar dari sekolah, namun demikian jujur aku tersinggung bahwa orang biasa seperti dia tidak mengetahui tentang betapa hebatnya diriku saat berlari.
"Baiklah, aku terima taruhan Kak Karin. Namun saya rasa ini masih tidak adil. Bagaimanapun saya rasa saya tidak mungkin kalah."
"Dasar rakyat jelata sombong" ujarku dalam hati
"Baiklah besuk siang kita akan melakukan pertandingan di lapangan sekolah."
"Baik Kak"
Saat itu aku belum menyadari bahwa apa yang akan kulakukan akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidupku.
***
Waktu menunjukkan pukul 12 tepat. Agar pertandingan ini adil, aku meminta bantuan Wali Kelas kami Bu Nana. Awalnya dia menolak, namun ketika aku berkata bahwa yang akan menjadi lawanku adalah anak bernama Aldho tiba-tiba matanya menunjukkan sinar yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dan dengan penuh semangat dia menyetujui untuk menjadi juri pertandingan ini.
Saat ini Bu Nana berada di samping lapangan dengan membawa peluit. Walau Aldho hanyalah cecunguk biasa, tidak pernah ada dalam kamusku untuk meremehkan orang lain. Akan kupastikan bahwa aku menghancurkannya dengan telak dan meluluhlantakkan kesombongannya yang berani menantang diriku.
PRITTTTTT......
Bunyi peluit nyaring terdengar, dengan sekuat tenaga kuhentakkan kakiku dan menghasilkan dorongan sempurna nan mantap. Aku pun meluncur dengan cepat ke depan. Namun demikian, walau aku yakin tak meremehkan lawanku. Pun aku yakin telah melakukan hentakan awal yang sempurna. Yang kulihat di depan adalah punggung dari Aldho. Kucoba mengeluarkan seluruh sisa-sisa tenagakU, namun demikian punggungnya semakin terasa jauh. Dan begitulah akhirnya, seluruh egoku dihancurkan oleh anak yang belum genap dua kali kutemui.
Sambil tertunduk Aldho pun mulai mendekat kepadaku.
"Jadi bagaimana Kak Karin? Berarti Kakak mau membantuku kan." ujarnya pelan
Akupun menatap Aldho dengan tatapan kesal, namun demikian hasil tadi amatlah jelas. Sekarang pun aku bisa melihat apa yang tidak bisa kulihat kemarin. Aku sama sekali tak bisa membayangkan bahwa aku bisa menang dirinya.
"Cih, ujarku lirih. Baiklah Do, kamu menang dan aku telah berjanji padamu. Jadi berapa yang kau minta?"
"Maksud Kak Karin?"
"Bukannya Pamanmu sakit dan kau butuh biaya?" ujarku kebingungan
"Maaf Kak, mungkin aku kemarin berbicara kurang jelas. kemarin saya minta Kak Karin untuk bergabung ke dalam PCC ekskul yang akan saya dirikan."
"Hah....?" ujarku dengan mata melotot
"Eh, bukannya kemarin saya sudah cerita Kak?"
"Bisa tolong ceritakan lagi Do, memang PCC itu ekskul apa?"
"Seperti yang saya katakan kemarin Kak, PCC itu singkatan dari Penyelamat Cengoh Cengoh, tujuannya organisasi ini sebagai wadah untuk orang Cengoh di sekolah ini." ujar Aldho dengan mata berbinar-binar.
Wajahku pun mulai pucat. PCC??? Apa itu PCC? kenapa aku harus bergabung dengan eskul tidak jelas seperti itu. Ini kesalahanku karena tidak mendengarkan, dengan cepan aku pun mencoba menghindar.
"Do, sesuai janji aku akan dengan senang hati bergabung dengan PCC, namun demikian bukankah lebih baik kalau kamu minta uang saja untuk pengobatan pamanmu?" ujarku coba bernegosiasi
"Tidak apa-apa Kak, saya rasa uang bukanlah masalah bagi saya. Toh saya masih punya sisa satu permintaan lagi bukan?" ujarnya seraya tersenyum.
Wajahku pun semakin pucat. Sepertinya aku tak akan bisa lari dari nasibku ini.
"Baiklah. Aku akan bergabung" ujarku lemah lagi lirih
"Terima kasih Kak Karin, nanti kakak akan kukabari lagi, saya pamit" ujarnya dengan wajah tersenyum
Teriknya sinar mentari seolah-olah tak terasa lagi olehku, yang dapat kurasakan hanyalah rasa hampa, Sejak berkarir di dunia lari profesional hanya ada satu orang yang berhasil mengalahkanku. Dan sekarang muncul orang biasa yang bisa mengalahkanku. Selain daripada itu aku harus bergabung dengan organisasi tidak jelas. Aku pun hanya tertunduk hingga butiran-butiran air mata mulai menetes dari mataku.
Tidak ada komentar